Home » » Kutularkan Penyakit pada Anakku

Kutularkan Penyakit pada Anakku

Written By Warga DEMAK on Senin, 07 April 2014 | 23.47

Kenangan baik dan buruk itu masih melekat di lubuk hatiku. Bagiku, Rustam tipe suami yang baik dan berperilaku santun. Kami berkenalan, kemudian akrab dan akhirnya saling jatuh cinta.

Ketika itu aku bekerja di sebuah perusahaan swasta, sedangkan dia menjadi salah satu distributor di perusahaan tersebut. Dengan kesepakatan dan ikatan batin, Rustam meminangku dan akhirnya kami menikah.

Bahtera rumah tangga kami berjalan mulus dan cukup harmonis. Apa lagi setelah kami dikaruniai seorang anak, Ia adalah anak perempuan yang manis dan menggemaskan. Aku bahagia sekali. Rasanya dunia ini milik kami bertiga, tidak ada yang bisa mengganggu kebahagiaan ini. Belaian kasih sayang aku berikan kepada anakku dan suamiku.

Namun sayang, karena kondisi perekonomian kami yang memprihatinkan, putri pertama, aku titipkan kepada kerabat dekat di sebuah tempat yang dirahasiakan. Maklumlah kondisi dan taraf hidup kami masih di bawah dan sangat memprihatinkan. Biarlah anakku tidak mengetahui kondisi kami sehingga ia tidak terbebani.

Karena itulah, suamiku terus membanting tulang demi mendapatkan hasil yang maksimal. Jerih payahnya itu membuahkan hasil yang luar biasa. Ia bisa memperbaiki taraf perekonomian keluarga. Kehidupan keluargaku beranjak meningkat, lebih baik. Buktinya, kami sudah sanggup lengser dari rumah orangtua, mengontrak rumah di bilangan Jakarta Selatan.

Sayangnya, kebahagianku itu tidak berlangsung lama. Hanya bertahan sekitar tiga tahun, seiring meningkatnya ekonomi keluarga berimbas pula dengan perubahan perilaku suami yang cenderung negatif. Ia sering pulang larut malam bahkan terkadang dini hari baru tiba di rumah. Pertengkaran pun mewarnai kehidupan dan hari-hari kami.

Dan aku mulai berusaha mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan suamiku. Dan aku begitu terkejut ketika mengetahui suamiku ternyata memilki kebiasaan “jajan” di luar. Perasaanku pedih, mengetahui tabiat buruk suamiku yang sebenarnya. Ingin rasanya aku membunuhnya yang tega berselingkuh dengan pelacur. Kendati demikian, aku tidak menginginkan rumah tanggaku hancur berkeping-keping. Dan akibat kebiasaannya itu, suamiku membawa pulang penyakit terkutuk itu.

Sebagai seorang istri, aku tetap setia merawat dan memberikan kasih sayang. Sebenarnya aku sudah memiliki firasat tidak baik, kalau suamiku mengidap HIV/AIDS karena perilakunya. Dan ternyata firasatku benar. Kubawa dia ke dokter. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan HIV positif. Semakin hari tubuh suamiku semakin mengurus. Dan akhirnya suamiku kembali kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa.

Penderitaanku tidak langsung terhenti, karena aku juga akhirnya merasakan penyakit dengan gejala yang sama dengan suamiku. Padahal saat itu aku tengah mengandung anak keduaku. Penyakit inipun membawaku semakin terpuruk dalam menjalani kehidupan. Lingkungan tempatku tinggal dan lingkungan kantor menolak kehadiranku. Mereka menganggapku bagai seonggok sampah yang menerbarkan bau busuk menyengat.

Namun beruntung aku masih mendapatkan dukungan dan kasih sayang dari keluargaku. Aku menemukan kembali lingkungan dan pekerjaan baru yang bisa menerima dan lebih bermanfaat untuk kehidupanku. Aku diterima bekerja di sebuah badan kesehatan. Aku ditugaskan memberikan motivasi bagi para penderita AIDS. Aku sangat senang sekali memperoleh pekerjaan ini. Semangat hidupku pun tumbuh berlipat-lipat.

Namun di tengah kebahagiaan itu, aku kembali harus mengalami kenyataan yang lebih pahit lagi. Anak keduaku yang aku lahirkan setahun lalu ternyata juga menderita HIV/AIDS. Ya Tuhan, ampuni dosa-dosa keluargaku. Lelehan air mata tak bisa kubendung. Aku terus menangis dan menangis menerima kenyataan pahit untuk sekian kalinya. Hatiku bergolak. Tapi aku tidak boleh larut dalam kesedihan ini, aku harus melawan virus itu bersama anakku.

Aku tidak mau menghentikan obat yang diberikan dokter, agar tidak semakin parah. Aku akan berusaha menjalani hidup yang diberikan Tuhan dengan memberikan manfaat kepada orang lain. Kini, hidup matiku kuserahkan kepada Tuhan. Dokter memperkirakan usiaku bisa bertahan lima tahun. Namun, hingga kini, Tuhan masih memberikan kasih sayangNya kepadaku. Yang kuinginkan adalah saat kepergianku nanti tidak menyusahkan orang lain. Dan aku berharap sekali ada yang mau menjaga anak bungsuku.

Aku sudah pasrah siapakah yang lebih dahulu dipanggil Tuhan, aku atau anak keduaku. Aku rela, kalau aku yang dipanggil terlebih dahulu, mudah-mudahan anakku ada yang memeliharanya. Sekarang, aku sudah bisa hidup kembali ke lingkungan masyarakat. (Seperti dituturkan W kepada Hasta MS)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SWARA Semarang - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger