Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

Menjelajahi Tempo Doeloe Lewat Toko Oen

Written By Warga DEMAK on Selasa, 08 April 2014 | 00.53

Jika Anda bertandang ke Semarang, jangan lupa mampir ke Toko Oen, di Jalan Pemuda 52, tepat di jalur sibuk kota Semarang. Resto ini wajib Anda kunjungi bukan hanya karena rasa kulinernya lezat, melainkan juga menawarkan suasana tempo dulu.

Toko Oen adalah sebuah bangunan kuno yang merupakan warisan bersejarah dari masa Hindia Belanda. Unik, indah, dan nyaman adalah kesan yang akan Anda dapatkan saat memasuki ruangan resto. Toko Oen menyajikan beragam makanan mulai dari appetizer hingga dessert.

Harga makanannya cukup terjangkau dengan porsi besar. Resto ini menyediakan beragam kue kering dan roti yang nikmat dengan rasa yang berbeda dari umumnya. Di sini Anda dapat mencicipi kroket, risol, lumpia goreng, bitterbalen, poffertjes, dan calamari.

Kue yang tersedia di Toko Oen adalah amandel yaitu bakpia kering berisi kacang dan gula, kaastengel yaitu kue keju kering, kattetonge yaitu roti putih telur, kue lidah kucing, serta beragam kue-kue kering yang memikat mata dan selera.

Jangan sampai lewatkankan pula lezatnya es krim yang diolah dengan alat tradisional. Tersedia berbagai macam rasa, vanilla, cokelat, kopi, serta berbagai buah-buahan dengan rasa yang unik. Es krim tersebut disajikan dengan kue lidah kucing, toping sirup, serta buah-buahan. Harga es krim tersebut mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000.

Resto Toko Oen juga menyajikan beragam menu khas Indonesia. Andalannya adalah nasi goreng, sate, gado-gado, atau tahu campur. Gado-gado biasa dengan porsi yang besar dimana di atasnya ditaburi potongan kerupuk.

Apabila perut Anda masih belum puas maka dapat mencicipi poffertjes, sebuah makanan khas Belanda berupa pancake dengan bentuk bulat kecil dan ditaburi gula bubuk. Tersedia dua macam rasa poffertjes, poffertjes cokelat yang ditaburi meses cokelat dan poffertjes keju yang ditaburi keju parut.

Menu resto barat yang perlu Anda cicipi adalah chicken cordon blue dengan porsinya cukup besar dalam piring dengan sayuran dan kentang. Chicken cordon blue digoreng tepung hingga renyah, di dalamnya Anda akan mendapati keju yang sudah agak meleleh. Chicken cordon blue di Toko Oen tidak menggunakan daging asap. Makanan khas Toko Oen lain yang terkenal enak adalah bistik hamburg, cordon blue, bestik lidah, inner schnitzel, dan kakap ala meuniere yang begitu nikmat di lidah.

Pada Awalnya Katering Biasa

Toko Oen adalah toko roti dan kue pertama di Yogyakarta yang berdiri tahun 1922. Berikutnya menyusul dibuka di Semarang, Malang, dan Jakarta. Akan tetapi, tahun 1958 Toko Oen di Yogyakarta dan Jakarta ditutup, sementara yang di Malang dibeli seorang pengusaha. Kini hanya tersisa Toko Oen di Jalan Pemuda 52, Semarang.

Toko Oen di Semarang telah berdiri sejak 1936, bangunannya bercat putih dengan kaca besar dan pintu kayu yang masih lekat nuansa klasik. Toko Oen dibangun dengan model jendela dan atap melengkung tinggi meniru desain yang popular di Eropa abad ke-19.

Interior bangunannya masih asli ditambah langit-langit yang tinggi dan digantungi lampu-lampu elegan. Furniture resto ini juga menarik karena dilengkapi sebuah mesin kasir tua, jam kayu kuno besar, dan sebuah piano kuno berwarna hitam. Suasana ruangannya menenangkan berpadu dengan lagu-lagu klasik yang mampu membangkitkan nostalgia. Tepat di depan pintu masuknya terpampang etalase dan toples kaca besar berisi kue-kue kering.

Pekerja di Toko Oen merupakan keturunan terdahulu dari pekerja di toko ini. Tukang masak, pelayan, penjaga toko roti, hingga penjaga pintunya rata-rata merupakan generasi ketiga pendahulunya. Mereka mengenakan setelan baju dan celana putih ala koki umumnya.

Sejak dulu Toko Oen merupakan tempat makan orang-orang Belanda. Bahkan hingga kini pun toko ini tetap menjadi tujuan wajib wisatawan asal Belanda yang datang ke Semarang.

Kisah restoran tua ini dimulai tahun 1922 di Yogyakarta saat seorang ibu rumah tangga bernama Liem Gien Nio menyalurkan keahliannya membuat makanan dan aneka macam panganan khas Cina dan Eropa. Ia pun kemudian membuka jasa katering dan menjualnya dengan pelanggan rata-rata kalangan orang Cina dan Belanda di kota Yogyakarta.

Lantaran masakannya gurih, maka tak heran usahanya berkembang dan berlanjut dengan membuka Toko Oen di Semarang, Malang, dan Jakarta. Akan tetapi, keterbatasan anggota keluarga yang bersedia mengurus Toko Oen membuat Toko Oen di Jakarta dan di Yogyakarta tutup. Sementara yang di Malang dijual pada pihak lain.

Uniknya Toko Oen di Semarang tesebut justru berevolusi dari toko roti, kemudian menjual minuman. Berdiri di warung sederhana, hingga akhirnya menjadi restoran lengkap berupa toko roti dan kue sekaligus toko es krim.

Saat ini Toko Oen Semarang dikelola oleh Yenny Megaputri, salah satu cucu dari Ibu Liem Gien Nio. Apabila Anda berjalan-jalan ke Belanda maka Toko Oen juga membuka pintunya di kota Delft dan Den Haag yang berdiri tahun 2000. Cintya Herdiani

Kali Mberok Kala Cinta Berlabuh di Dermaga

Kali (Sungai) Mberok, begitu masyarakat Kota Semarang menyebutnya. Mengapa kali ini begitu fasih mengapungkan seribu kenangan di Kota Semarang?

Kali Mberok (Berok) terletak persis di jantung ekonomi tradisional Semarang Pasar Johar yang menghubungkan antara Kota Lama Semarang dan Kota modern Semarang sekarang. Berkerumun pula sejarah masjid-masjid kuno Semarang yang ada disekitar Kali Mberok.

Kata Mberok sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, dalam pelafalan lidah Belanda sebenarnya adalah Burg (jembatan), karena kebanyakan orang Jawa sulit untuk melafalkan dalam bahasa Belanda maka kemudian lama-kelamaan kata Burg berubah menjadi Berok atau Mberok.

Jembatan yang dimaksud berjajar mengubungkan aktivitas masyarakat Semarang yang terdapat di Jalan Pemuda-Kota Lama, area pasar Johar, dan Jalan Layur berdekatan dengan Masjid Menara Kampung Melayu.

Meski bukan merupakan tempat melancong bagi para wisatawan, namun kebaradaan kali Mberok tidak bisa dipisahkan begitu saja dari tempat yang menarik seperti Kawasan Kota Lama, Masjid Besar Kauman, Masjid Menara Jalan Layur, Pasar Johar, Pecinan, dan Stasiun Tawang.

Cikal Bakal Transportasi Pesisir
Kawasan yang dilewati Kali Mberok merupakan kawasan terpenting dari cikal bakal Semarang tempo dulu. Keberadaannya sangat dibutuhkan dan merupakan sarana transportasi penting dari pesisir pantai utara menuju darat. Mulai dari ekspedisi Belanda hingga Cheng Ho (Sam Po Kong) pernah melewati kali Mberok. Tak ayal,  jembatan Mberok dulu tak ubahnya dermaga kapal.

Kali mberok di era kejayaannya menjadi saksi bisu kemeriahan ekonomi. Kali ini juga menghubungkan strata sosial budaya berbeda menjadi satu kawasan yang sangat menarik. Dimulai dari kawasan kampung melayu disebelah utara dan barat Kali Mberok, dimana sekarang masih ada sisa peninggalan berupa masjid Menara yang terletak di jalan Layur. 

Dari kawasan utara kali Mberok hingga Pasar Johar merupakan perkampungan warga muslim, terutama orang-orang Melayu yang singgah dan bertempat tinggal di Jawa. Selain masjid Menara, warga muslim pribumi jawa juga membangun Masjid Kauman yang letaknya disebelah barat kali Mberok berdekatan dengan Johar.

Warga Melayu dan pribumi lah yang berada paling awal menempati area sekitar Kali mBerok, disusul Tionghoa. Warga Tionghoa membentuk kawasan yang padat ekonomi di selatan Pasar Johar hingga menerobos Kali mBerok yang dikenal dengan kawasan Pecinan.

Kawasan Pecinan terbilang panjang dan luas, dimulai dari jalan Kranggan lalu Gang Beteng, Wot Gandul hingga kembali ke Kranggan melewati Gang Warung merupakan jalanan Pecinan yang paling populer dilewati masyarakat Semarang. Diera modern saat ini, kawasan Pecinan Semarang tidak hanya berada di kawasan sekitar aliran kali Mberok saja, namun sudah mulai merangsek keluar area seperti sepanjang Jalan MT Haryono dan bundaran Bubaan.

Komunitas yang lain di era Semarang tempo dulu adalah warga Eropa ketika zaman penjajahan terutama warga Belanda. Kawasan kota lama Semarang dimulai dari ujung jembatan kali mberok depan Kantor Pos Pusat Semarang melewati jalan Merak dan Poldel Tawang lalu Bundaran Bubukan hingga kembali kali mberok. Kawasan Kota lama ini berada di sebelah timur kali mberok Semarang.

Kali Mberok dalam sejarahnya telah menghubungkan etnis yang berbeda sepanjang zaman, dari Melayu, Jawa, Tionghoa dan Eropa. Menyatukan sisi ekonomi yang terdapat di Pasar Johar dan Kawasan Pecinan, sisi religi dengan beragamnya bangunan ibadah seperti Masjid Besar Kauman, Masjid Menara Jalan Layur,  Gereja Blenduk Kota Lama dan Klenteng di Pecinan. Memadukan sistem Pemerintaahan yang keberadaannya dari Tugu Muda hingga menembus Kota Lama melewati kali Mberok yang gagah.

Namun saat ini disayangkan, sampah kini menggenang di sepanjang kali Mberok, dan tingginya debit air sekitar pasar Johar hingga rob air laut, sehingga sering membanjiri kawasan ekonomi Pasar Johar dan sekitarnya. Belum bau tidak sedap di sepanjang kali Mberok. Selain diakibatkan oleh penurunan tinggi daratan daerah sekitar Semarang, juga di akbatkan sistem selokan yang tidak begitu lancar di seluruh kawasan yang dilewati Kali Mberok.

Selain itu, Mberok juga pernah dikenal sebagai kawasan ‘hitam’. Banyak PSK jalanan berdiri di ujung jembatan untuk menggelar ‘dagangan’.

Tapi, bagaimanapun, Mberok merupakan saksi bisu Semarang tempo dulu, jangan sampai keberadaan justru menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat sekarang. Mesker Md

William Booth, Rumah Sakit Mata Tertua di Semarang

Gedung William Booth yang menyisakan arsitektur Belanda
Berawal dari sebuah klinik mata sederhana di Bugangan, dr Vihelm A Wille mendirikan rumah sakit mata pertama di Semarang. Kini Rumah Sakit William Booth yang diresmikan 23 Juni 1915 oleh PKW Kern ini, masih menjadi jujugan pasien mata, sekaligus juga menjadi rumah sakit umum.

RIWAYAT fasilitas kesehatan milik Bala Keselamatan ini dimulai saat dr. Vihelm, dokter mata sekaligus pendeta kelahiran Denmark, bertugas di Indonesia. Dia membuka klinik sederhana di kawasan Bugangan, persisnya di depan Pasar Dargo.

Selain melayani kalangan bangsawan dan kaum Eropa, dia juga tak menolak pasien dari kalangan pribumi dan rakyat jelata. Meski hanya punya peralatan sederhana, dokter Vihelm cukup mumpuni mengobati penyakit. Keampuhannya tersiar hingga ke luar negeri.

Tak heran pasien berdatangan dari Singapura, Muangthai (Thailand), dan negara-negara Asia lainnya. Salah satu prestasi pendeta ini adalah menemukan xerophtalmia. Penyakit ini kerap menjangkiti anak-anak pribumi yang kurang asupan vitamin A.

Melihat banyaknya penderita penyakit mata di tanah jajahan Hindia Belanda, Vihelm berobsesi membangun rumah sakit yang lebih besar agar menampung lebih banyak pasien. Angannya terkabul ketika seorang pasien yang disembuhkannya berkenan menghibahkan sebidang tanah di sebuah perbukitan yang disebut “Madurangin”.

Ketika lahan tersedia, tapi dana untuk membangun rumah sakit belum tersedia. Maka dokter ini pun berinisiatif meminta donasi kepada kolega dari kalangan bangsawan Belanda.
Lambat laun, sumbangan para donatur terus mengalir, termasuk dari Ratu Wihelmina yang cukup besar, sehingga jumlah dana yang terkumpul mencapai 94.000 gulden.

Setelah berdiri, rumah sakit itu diberi nama William Booth. Nama itu dinisbatkan dari pendeta Inggris kelahiran 1829 pendiri aliran Bala Keselamatan.

Dihentikan Saat Zaman Jepang
Selama puluhan tahun rumah sakit ini melayani masyarakat. Namun pada zaman Jepang, operasionalnya terpaksa dihentikan. Tahun 1947, rumah sakit swasta ini diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah Indonesia. Setahun kemudian, dikembalikan kepada Bala keselamatan. Opsir pertama yang bertugas di klinik itu adalah Mayor Bass Karnbel.

Sampai sekarang, masih ada yang mengira rumah sakit di Jalan S Suparman 5 ini, hanya melayani pengobatan mata. Padahal,  sejak 1968 rumah sakit yang menempati lahan seluas 23 ribu meter persegi ini telah membuka klinik umum.

Sayang, bekas gedung kuno tak lagi tersisa di rumas sakit tipe C ini. Semua gedung telah direnovasi agar sesuai standar bangunan fasilitas kesehatan. Namun jejak sejarahnya masih terekam dari foto-foto jadul yang dipasang menyebar di dinding. Beragam peralatan kesehatan kuno juga bisa dilihat di ruang lobi.

Humas RS William Booth Martha Siagian mengatakan, berbekal pengalaman selama 102 tahun, pihaknya terbilang mumpuni melakukan pengobatan mata. “Kami telah memiliki Central Java Eye Center yang dilengkapi berbagai peralatan modern,” ujarnya.

Setiap hari rumah sakit ini dikunjungi sekitar tak kurang 300 pasien. Khusus warga miskin, dibuka layanan medis dengan tarif terjangkau setiap pagi dari pukul 08.00-10.00. “Warga miskin yang ingin memperoleh pelayanan medis profesional tapi murah, bisa datang pada jam tersebut. Tapi dalam kondisi darurat, kami tetap membuka tangan bagi pasien miskin selama 24 jam per hari,” jelasnya. Zulfikar Prabu

Lunpia Bukan Anak Kandung Semarang!

Lunpia Semarang tak bisa dipandang sekadar sebagai sebuah makanan. Lebih dari itu, kuliner khas ini merupakan “produk budaya”.

OLEH-oleh apa yang pantas dibawa ketika seseorang singgah di Semarang? Tiga makanan ini yang paling menjadi sering menjadi pilihan: wingko babat, bandeng presto, dan lunpia. Meski jika ditilik dari aspek sejarah, ketiganya masih “diragukan” merupakan “anak kandung” kota ini.

Coba saja tanya ke Mbah Gugel (Google, red) di internet. Ketik kata kunci “lumpia” atau “lunpia” di baris pencarian. Goggle akan mengarahkan ratusan referensi mengena makanan yang gurih itu. Ternyata, makanan yang oleh Goggle dieja “lumpia” (bukan lunpia) itu merupakan makanan tradisional Filipina, Cina, dan Indonesia.

Jelas bahwa makanan ini tak bisa diakui “hanya” sebagai milik Kota Semarang. Tetapi masyarakat kadung menjadikannya sebagai ikon kota. Tentu ini merupakan berkah yang wajib disyukuri. 

Maka wajar belaka lunpia sering dijadikan oleh-oleh favorit. Dia menjelma menjadi oleh-oleh “wajib” bagi pelancong yang singgah di kota yang dulu bernama Sam Po To Lang ini. Makanya wajar saban hari pusat oleh-oleh di Jalan Pandanaran serta kawasan lain ramai dikunjungi pembeli. Industri lunpia menghidupi banyak orang. Dari produsen dan pemasok bahan baku hingga tukang becak dan tukang parkir di sekitar Jalan Pandanaran.

Baginya, lunpia ibarat senjata untuk berdiplomasi. “Pokoknya setiap ada acara dari Semarang, bawa oleh-oleh lunpia. Tak perlu repot cari oleh-oleh apa yang mahal. Cukup bawa lunpia, sudah pantas untuk diberikan sebagai oleh-oleh kepada atasan, kolega, atau sanak saudara,” ujar Slamet Effendy, pengurus Muhammadiyah Cilacap yang kerap berkunjung ke Semarang.

Awal mulanya lunpia terdiri dari sayur rebung berbumbu sebagai pengisi kulit, kemudian digulung berbentuk rolade. Namun lambat laun, berkat kreativitas pembuatnya muncul beberapa versi. Bukan hanya sayur yang ada di balik gulungan, melainkan berbagai bahan lain, seperti daging ayam, telur, udang, bahkan kepiting.

Lima Aliran
Saat ini terdapat lima aliran lunpia di Semarang dengan cita rasa khasnya masing-masing. Semuanya terpengaruh cita rasa makanan Thionghoa. Maklum, makanan ini dipopulerkan etnis yang piawai berdagang dan berpromosi ini.

Aliran Gang Lombok atau biasa disebut (Siem Swie Kiem) merupakan lunpia yang tak boleh dilewatkan. Berikutnya aliran Jalan Pemuda (almarhum Siem Swie Hie), dan ketiga aliran Jalan Mataram (Siem Hwa Nio). Ketiganya berasal dari satu keluarga Siem Gwan Sing–Tjoa Po Nio yang merupakan menantu dan putri tunggal pencipta lunpia Semarang, Tjoa Thay Yoe–Wasih. Boleh dibilang, lunpia “klasik” ini merupakan yang asli di Semarang.

Aliran keempat didirikan oleh karyawan yang ‘membelot” kemudian berusaha mendirikan usaha sendiri. Serta aliran berikutnya boleh disebut sebagai aliran “kreatif”. yakni lunpia yang dibuat oleh pecinta kuliner dan pengusaha yang berusaha menciptakan kreasi-kreasi baru dalam membuat lunpia.

Jika dilihat lunpia yang “klasik” atau tua, yang masih melayani adalah generasi ketiga dari Babah Siem Swie Kiem (68). Di toko warisan ayahnya Siem Gwan Sing di Gang Lombok 11, dia masih setia melayani konsumen. Terutama yang rindu mencicipi lunpia yang asli. Keistimewaan lunpia ini adalah racikan rebungnya yang tidak beraroma khas. Jujur saja, sebagian menganggap rebung dari lunpia sering dianggap “berbau aneh.” Selain itu, campuran telur dan udangnya juga tak meninggal jejak aroma di hidung.

Lunpia buatan generasi keempat dapat kita peroleh di kios lunpia Mbak Lien alias Siem Siok Lien (43) di Jalan Pemuda dan Jalan Pandanaran. Mbak Lien meneruskan kios almarhum ayahnya, Siem Swie Hie, yang merupakan abang dari Siem Swie Kiem, di Jalan Pemuda (mulut Gang Grajen) sambil membuka dua cabang di Jalan Pandanaran.

Kekhasan lunpia Mbak Lien ini adalah isinya yang ditambahi racikan daging ayam kampung. Ketika awal mula meneruskan usaha almarhum ayahnya, Mbak Lien membuat tiga macam lunpia, yaitu lunpia isi udang, lunpia isi ayam (untuk yang alergi udang), dan lunpia spesial berisi campuran udang serta ayam. Tetapi, karena merasa kerepotan dan apalagi kebanyakan pembeli suka yang spesial, sekarang Mbak Lien hanya membuat satu macam saja, yaitu lunpia istimewa dengan isi rebung dicampur udang dan ayam.

Adapun generasi keempat lainnya, yaitu anak-anak dari almarhum Siem Hwa Nio (kakak perempuan dari Siem Swie Kiem) meneruskan kios ibunya di Jalan Mataram (Jalan MT Haryono) di samping membuka kios baru di beberapa tempat di Kota Semarang.

Di antara anak-anak almarhum Siem Hwa Nio ini ada juga yang membuka cabang di Jakarta. Bahkan, ada cucu almarhum Siem Hwa Nio sebagai generasi kelima membuka kios lunpia sendiri di Semarang.

Selain keluarga-keluarga leluhur pencipta lunpia tersebut, sekarang banyak juga orang-orang ”luar” yang membuat lunpia semarang. Mereka umumnya mantan karyawan mereka. Mereka yang mempunyai hobi kuliner juga turut meramaikan bisnis lunpia semarang dengan membuat sendiri, seperti Lunpia Express, Phoa Kiem Hwa dari Semarang International Family and Garden Restaurant di Jalan Gajah Mada, Semarang. Nah tinggal dicoba, mau pilih yang mana? (PJS/Cintya Herdiani)

Berakhir Pekan di Risana, Amboi Asyiknya!

Pergi ke Banyumanik, kurang lengkap rasanya jika kita tidak mampir ke Pemancingan Risana.

Yup, pemancingan milik Bapak Bambang Pambudi ini mungkin dapat dijadikan referensi bagi teman-teman yang ingin menghabiskan waktu libur bersama keluarga, teman, atau pacar. Menurut penuturan lelaki asal Sukoharjo ini, nama Risana sebenarnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu rila (rela), sabar, dan narima (menerima apa adanya). Karena Pak Bambang memulai usaha pemancingan ini juga tidak mudah. Ketiga kata itu pulalah yang menjadi dasar Pak Bambang dalam menggeluti usaha ini.

Pada awalnya, Pak Bambang adalah seorang PNS. Kemudian setelah pensiun, barulah ia memulai usaha dengan memelihara ikan lele. Tetapi, ia merasa, untung yang didapat dari memelihara ikan lele tidak terlalu banyak. Maka, ia pun mencoba untuk membuka usaha kolam pancing.

Pak Bambang benar-benar memulai usaha ini dari nol. Bahkan, ia berani spekulasi menjual mobil Carry miliknya untuk membuka usaha ini. Dan hasilnya tidak sia-sia: usaha yang digelutinya benar-benar dapat menarik banyak pelanggan.

Pemancingan Risana juga menyediakan ruang untuk pertemuan dan gazebo. Di samping itu juga sangat cocok untuk tempat arisan, reuni, dan kumpul bersama keluarga karena tempatnya mudah dijangkau. Didukung suasana yang sejuk, kita dapat sejenak me-refresh pikiran yang sudah jenuh dengan aktivitas sehari-hari.

Bagi yang memiliki hobi memancing, di sini kita dapat memancing ikan gurami, nila, bawal, dan lele. Namun, untuk yang tidak suka memancing, jangan khawatir karena kita dapat langsung memesan menu yang kita inginkan.

Di sini kita juga dapat menikmati aneka masakan olahan ikan seperti ikan bakar, goreng, asam manis, lombok ijo, bumbu acar, bumbu bali, dan bumbu rujak. Soal harga, Pemancingan Risana ini bisa dibilang pas untuk kantong mahasiswa, mulai dari Rp 29.000,00 sampai dengan Rp 45.000 per kg-nya.

Jika tertarik, tidak ada salahnya untuk mencoba datang ke sana. Alamatnya di Jalan Grafika Banyumanik, Semarang. Telepon (024) 33114401, 76480238, 7477719. *Arief

Cafe Mukti, Tempat Kongkow Pecinta Tembakau

Anda perokok dan perlu ‘habitat’? Datanglah ke Mukti Café. Di mana itu? Di ujung Jalan Kranggan itu loh!

Sudah hampir dua bulan ini, para penikmat rokok khususnya di area Semarang dimanjakan oleh kehadiran Cafe Mukti. Kafe yang terletak di ujung timur Jalan Kranggan ini memang sengaja dibangun untuk menjadi wadah bagi para pecinta tembakau.

Sebelum terbentuk, kafe tersebut dulunya adalah toko tembakau. Agung, sang pemilik, berinisiatif membuat sebuah tempat yang bisa digunakan untuk menikmati tembakau sekaligus ngopi.

Untuk mewujudkannya, Agung menggandeng Radika di bagian operasionalnya. Radika sendiri adalah seorang pecinta tembakau, alias perokok. Awal perkenalan mereka adalah ketika Radika mencari tembakau dan sampai di tempat Agung. Mencium gelagat baik, Agung mengajaknya untuk mengelola kafe yang saat itu masih sebatas angan-angan di kepalanya. 

Dengan senang hati pria berusia 28 tahun tersebut menerima tawaran dari sang pemilik toko karena baginya tembako adalah hidup.

Berawal dari sana, tempat yang dulunya berfungsi sebagai toko tembakau, kini berubah total nafas serta interior. Terdiri dari dua lantai, Cafe Mukti bisa dibilang cukup luas. Selain dapat menikmati aneka rupa tembakau, di sana kita juga bisa menambah pengetahuan mengenai macam-macam tembakau baik dari dalam maupun luar negeri.

Menjadi satu-satunya kafe tembakau di Semarang tak menyulitkan mereka mencari pengunjung.  Dengan sendirinya para pecinta rokok hilir mudik memenuhi setiap ruang yang tersedia. 

Beberapa pengunjung terlihat asyik mengobrol sembari menikmati aroma tembakau dari rokok yang mereka hisap.  Beberapa lainnya terlihat sibuk menikmati rokok sembari bermain catur.

Cewek pun Ada
Tak hanya diminati kaum pria, Cafe Mukti juga menarik minat para wanita baik penikmat tembakau maupun yang bukan “mampir” semata. Selain Radika, ada juga Encis, seorang wanita yang juga penikmat tembakau. Tugas Encis menjadi guide wisata bila ada tamu asing.

Encis sendiri sudah lama berhenti merokok dan beralih ke cangklong. Wanita yang kesehariannya bekerja sebagai tentor di salah satu bimbingan belajar tersebut bercerita mengenai kecintaanya dengan tembakau. Bila ditanya mengapa, dirinya pun tak bisa menjawab, bingung. "Apa ya, susah dikatakan, " ujarnya.

Baginya, tembakau itu sayuran favorit, seperti pernah dikatakan Frak Zappa. Zappa adalah seorang komposer, gitaris, penyanyi, sutradara film, asal Amerika Serikat. Sering  menciptakan lirik-lirik satire, semasa hidupnya ia menghasilkan lebih dari 60 album. Rere

Sate 29, Tanpa Bau Prengus Kambing

Semarang punya banyak warung sate enak. Tapi Sate Kambing 29 mungkin perkecualian. Lokasinya, di Kota Lama, cocok dikunjungi saat Anda berwisata, terutama sesudah Anda sekeluarga berfoto-foto di Gereja Blenduk.

Banyak para pecinta kuliner menilai enak atau tidak sajian sebuah rumah makan dari banyaknya pengunjung. Tentu saja harus melihatnya pas jamnya orang makan – entah pagi, siang, atau malam. Nah, Sate & Gule 29 selalu ramai pengunjung. Rata-rata berombongan menggunakan kendaraan pribadi. Dan apakah sate di sana cukup enak?

Sate Kambing 29 begitu terkenal di Semarang. Rumah makan ini sudah tersohor sebagai penyaji sate enak selama empat dasawarsa. Pemilik warung saat ini, Iwan, adalah cucu Yap Pak Yoe, pemilik pertama yang membuka warung tahun 1968. Sebagian besar karyawan warung sudah menjadi pelayan di sini selama belasan hingga beberapa puluh tahun. Jadi, tangan mereka sudah terlatih selama belasan tahun menyiapkan sate enak.

Di sini tersedia sate daging, sate campur, sate buntel, dan sumsum. Sate campur biasanya terdiri atas daging kambing dan jeroannya (hati, limpa, usus, torpedo). Sedangkan sumsum adalah bagian dalam tulang tulang yang disajikan dengan kuah gule, dimakan dengan cara disedot. Meski ramai, pelayanannya tidak lamban.

Sate Kambing 29 istimewa karena hanya menggunakan daging sate pilihan. Banyak bagian daging yang dibuang pada saat penyiapan bahan sate. Yang digunakan hanya bagian paha atas dan daerah punggung. Kedua bagian daging ini memang lebih empuk dari bagian lainnya. Bagian lain yang tidak masuk syarat keempukan daging hanya boleh dimasak untuk menu lain.

Bumbu Turun Temurun
Selain sate kambing biasa, warung ini juga menyediakan sate buntel. Sate ini dibuat dari daging kambing cincang yang dibungkus dengan lemak kambing lalu dibakar. Setelah dicincang, daging kambing dicampur dengan bumbu. Setelah itu daging dibungkus dengan lemak tipis (gajih) lalu dibakar. Saat matang, daging sate buntel sama sekali tidak berbau prengus, teksturnya juga sangat lembut menggoyang lidah.

Pembakaran sate dilakukan dengan sangat hati-hati. Proses pembakaran tidak menggunakan kipas angin seperti yang jamak dilakukan di banyak warung sate. Pembakaran dibantu dengan kipas tangan manual untuk menjaga bara tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Proses pembakaran memakan waktu sekitar 10 -15 menit untuk mendapatkan kematangan yang pas. Harga sate di sini sedikit lebih tinggi daripada kebanyakan sate di warung lain karena memang tidak semua bagian daging bisa dipakai.

Selain sate, warung ini juga menyediakan balungan (terbuat dari bagian tulang kambing). Menu terakhir ini pun dibuat dengan proses yang cukup lama. Tulang sendi kaki dimasak selama delapan jam hingga dagingnya cukup empuk dan menghasilkan kaldu yang pekat. Proses perebusan ini biasanya dilakukan mulai pagi hari pukul 04.00 sampai menjelang jam makan siang.

Dari lamanya proses perebusan ini saja kita bisa melihat bagaimana warung ini selalu berusaha menyajikan yang terbaik bagi pelanggan. Untuk semua menu di atas, warung Sate Kambing 29 biasanya membutuhkan sekitar 40 kg daging tiap hari.

Rahasia kelezatan berbagai menu yang disajikan di Sate & Gule Kambing 29 terletak pada bumbu masakan yang telah dijaga turun temurun. Selain itu, daging kambing yang digunakan juga daging kambing pilihan. Tentu semua menu diolah secara profesional dan higienis.

Untuk minuman, jika ingin yang spesial, Anda bisa mencoba Es Mie Jelly atau Jeruk Peras Murni (tanpa air). Tentu berbagai minuman lain juga bisa Anda pesan sesuai dengan selera Anda. Ingin menikmati berbagai menunya? Sate & Gule Kambing 29 setiap hari buka mulai pukul 09.00-22.00.

“Pelanggan banyak yang bilang, yang membedakan masakan kami dari tempat lain adalah masakan kami tidak bau prengus,” ungkap Mulani, pemilik Sate & Gule Kambing 29 yang terletak di Jalan Teuku Umar 27 Jatingaleh. Hasta MS

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SWARA Semarang - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger